Selasa, 19 Oktober 2010

Wine, mabuk atau gaya hidup?

Apa yang ada di kepala Anda ketika mendengar kata ‘wine’? Anggur, mabuk, alkohol, atau gaya hidup? Semuanya bisa benar meski tidak sepenuhnya tepat. Wine tak melulu perihal anggur.Palembang kini semakin bertabur wine. Bukan hanya komunitas pencinta wine (wine lovers) yang bertambah, tempat kongko dan kafe yang khusus menyediakan dan menjual wine itu juga kian beragam. Minum wine mulai menjadi gaya hidup di perkotaan.

Diwarnai latar cerita, juga mitos, wine tidak sekadar minuman anggur seperti dikenal dalam tradisi. Wine memberi kisah sejarah dan pengetahuan. Lagi pula, di tengah silang pendapat soal sejalan atau tidaknya dengan norma agama, tak sedikit orang yang meyakininya sebagai resep hidup sehat.
“Sejak menjalani operasi jantung, lima tahun lalu, saya rutin minum wine, dua-tiga gelas sehari, mengikuti anjuran dokter," kata Gunawan Jaya.
Ia rutin mengonsumsi minuman yang berasal dari fermentasi buah anggur itu sebagai upaya agar derita penyakit jantung tak berulang.

Di sisi lain, kaum berada di perkotaan pun makin banyak yang sering mengonsumsinya, baik diminum tersendiri maupun melengkapi hidangan makan. Pengusaha, profesional, politikus partai, bahkan pasangan anak muda. Itulah kenapa banyak kafe, restoran, maupun hotel yang menyediakan wine. Nyatanya, tempat-tempat itu tak pernah sama sekali tanpa pengunjung.

Kalau bukan oleh alasan kesehatan, apakah orang-orang berduit makin banyak yang suka mabuk? “Rasanya, membelanjakan Rp 500 ribu,- sampai di atas Rp 1 juta - untuk setiap botol ukuran 750 ml bukan cara yang tepat untuk sekadar mabuk walau bagi orang berduit,” kata Ivan, salah seorang bartender di Princess Club and Lounge, Hotel Princess.

Apalagi, kadar alkohol wine "hanya" berkisar 12 – 13 persen. Berbeda dengan wiski atau minuman lain yang punya kadar alkohol di atas 40 persen. Nggak terlalu pas kalau dibilang untuk mabuk,” lanjutnya
Barangkali yang ditawarkan adalah gaya hidup. Ada nilai gengsi karena menyangkut barang konsumsi yang relatif mahal. Namun penikmat lainnya merasakan sensasi eksklusivitas “Karena minum wine bukan budaya kita,” beber Ardi Gunadi, seorang wine lover yang kerap nongkrong di Starlight Cafe, Novotel Hotel Palembang.

Konsumen wine memang beraneka ragam. Tony, manager Selebriti Cafe membedakan konsumen dalam tiga kategori: mereka yang minum karena hidup dalam budayanya, mereka yang ingin merasakan sensasi rasa "melayang" tapi tak mabuk, “dan mereka yang menikmati wine untuk kesehatan,” katanya.

Keberadaan wine untuk kesehatan, yang diwakili oleh konsumen semacam Gunawan, memang telah terbukti. Banyak riset ilmiah yang menemukan bukti bahwa mengonsumsi beberapa gelas wine secara teratur, sejauh tidak ada kelainan derita tubuh semacam gangguan ginjal, akan menurunkan kadar kolesterol "jahat" LDL (Low Density Lipoprotein) dan menjaga kadar kolesterol "baik" HDL (High Density Lipoprotein).

Tony mengatakan, di Palembang, secara umum masyarakat mengenal dua jenis wine: red wine dan white wine. Ada satu yang di luar keduanya namun tidak telalu massal, yakni rose wine. Warnanya merah jambu, berasal dari anggur berwarna merah, pembuatan dan keberadaannya dianggap variasi dari white wine.

Sedangkan yang disebut champagne sejatinya wine juga, namun berasal dari daerah Champagne, Perancis. Di luar daerah itu, minuman tersebut acap dinamakan sparkling wine. Tapi, lantaran tak banyak orang yang tahu muasalnya, kata Tony, champagne dianggap nama generik belaka. “Semua minuman pembuka sebelum makan disebut champagne, padahal itu salah,” katanya.

Bagi yang pernah mencoba, rasa red wine agak sepet, kelat, tak seberapa manis karena berasal dari campuran kulit, batang, buah, dan biji anggur. Sedangkan white wine, meski bahan dasarnya sama - kebanyakan anggur warna hijau- lebih tersaring, tidak menyertakan deposit terlalu banyak. Makanya rasanya manis.

Rasa setiap wine memang individual. Belum tentu wine kelas mahal lebih enak daripada yang berharga murah. Tapi karena sejak awal wine disebarkan dengan mitos dan nilai pengetahuan, ada patokan dasar untuk menikmatinya. “Lihat, cium, dan cicipi,” kata Gunawan

Dengan cara melihat yang benar, kejernihan wine akan tampak. Ketika diterawangkan di depan sinar, kejernihan atau kepekatannya akan terlihat. “Untuk mengangkatnya, yang dipegang adalah kaki sloki dan bukan bagian badannya. Sebab kalau telapak tangan kita kotor atau berminyak, rupa wine akan terpengaruh,” kata Tony.

Segelas wine yang terletak di atas meja, jika kita cium akan memancarkan bau alkohol. Aroma berbeda akan muncul setelah gelas kita goyang-goyang. Yang muncul adalah aroma ragi.
Sedangkan cara minum untuk benar-benar menikmati rasanya adalah dengan mengulumnya sesaat di rongga mulut, kemudian menyedot udara untuk memasukkan oksigen, baru menelannya. Bagi sebagian orang cara ini kurang etis, tetapi untuk alasan itulah dunia wine merumuskan dua macam rasa, yakni taste dan after taste.

Dalam bahasa pajak, wine dan minuman seperti wisky atau vodka disamakan. Keduanya adalah "miras" (minuman keras). Padahal keduanya berasal dari bahan baku berbeda, melalui proses produksi yang berbeda pula. “Yang satu bisa menyehatkan, satunya bisa memabukkan,” kata Tony. (hari budianto)



Sumber : Rachmat Aprianto - sumex


Lihat juga : burger king, ice cream

Tidak ada komentar:

Posting Komentar