Kata “djiancuk” atau lebih sering diucapkan “jancuk” saja, bagi sebagian orang, terutama orang Jawa Timur, mempunyai arti yang kasar dan bisa ngajak perang.
Namun di Jogja, kata “djiancuk” ini justru dijadikan branding oleh sebuah warung soto yang unik, yang mengklaim merupakan warung yang pertama dan satu-satunya di Jogja yang menyediakan menu soto ala Jawa Timur, terutama dari kota Blitar.
Entah apa alasan dipilihnya kata ini. Mungkin ini merupakan ungkapan ekspresi ketika kita merasakan sesuatu yang luar biasa enak, hingga yang muncul ndak lagi pujian namun makian.
“Jiancuk..!! Uenak e, rek!!” ;))
Selain namanya, rupanya warung soto yang terletak di tepi Rawa Kalibayem, Sonopakis, Jogja ini mempunyai beberapa keunikan.
Kami pun memesan menu andalan warung ini, yaitu tentu saja, soto. Melihat dari “angkring” tempat meracik soto, langsung mengingatkan saya akan nuansa Madura.
Sambil menunggu soto kami dibuat, saya pun memandangi dengan seksama keadaan sekeliling warung ini.
Suasana Warung Soto Djiancuk
Tembok bangunan sengaja ndak disemen untuk memperlihatkan motif batu bata dan semen. Banyak lukisan terpampang di dinding yang sekilas seperti hanya guratan surealis, namun bila diamati ternyata lukisan ini banyak mengangkat tema-tema seksualitas dan erotisme.
Beberapa gambar Pak Karno juga terpampang di tembok, menunjukkan bahwa si pemilik warung begitu mengagumi sosok mantan presiden pertama itu.
Di luar ada beberapa lincak yang langsung mepet ke sawah, sehingga kita bisa menikmati soto sambil menikmati suasana rawa Kalibayem yang menyejukkan dengan leluasa.
Botol kecap unik
Kami pun memilih duduk di dalam. Pandangan saya langsung tertuju pada sebentuk botol keramik aneh yang lucu. Oh, rupanya botol bertuliskan huruf-huruf kanji yang berbentuk seperti wadah tuak dalam film Cina klasik “Drunken Master” ini adalah botol kecap!
Ndak sengaja kaki saya menendang bagian dasar meja. Wow! Setelah diamati, rupanya meja bundar besar di hadapan saya ini adalah kayu bekas tempat gulungan kabel telepon itu!
Pantas saja saya menemukan beberapa tulisan berupa kode angka pada permukaan meja dan sebuah lubang pada tengah-tengah meja.
Beberapa meja rupanya juga dibuat dari bekas tempat gulungan kabel, namun berukuran lebih kecil. Sungguh ide yang nyentrik.
Tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara gemerincing. Ternyata ibu berparas Madura yang kental sedang menuangkan kecap ke dalam soto pesanan kami.
Botol kecap rupanya diikat dengan tali yang digantungi beberapa lonceng kecil, sehingga ketika botol kecap diangkat maka lonceng-lonceng tersebut akan berbunyi.
Akhirnya soto pesanan kami datang. Saya sempat terkejut, kok penyajiannya menggunakan mangkok mungil seperti pada Soto Kudus?
Awalnya saya mengira soto ini adalah Soto Madura, melihat dari bentuk angkringnya. Namun soto ini beda dengan Soto Madura yang pernah saya coba.
Menurut informasi yang saya ketahui, soto ini adalah soto ala Blitar. Namun karena saya belum pernah nyobain Soto Blitar, saya ndak berani memastikan.
Komposisi soto pun mirip dengan Soto Madura yaitu pada daging sapi, namun kuahnya ndak berwarna kuning. Potongan telur, irisan kentang goreng, dan kuah yang bening-coklat mengingatkan saya pada Soto Banjar.
Mencicipi kuahnya, rasa merica langsung nendang di tenggorokan. Benar dugaan saya. Saya kok merasakan perpaduan antara Soto Madura dan Soto Banjar pada soto ini.
Yang lucu, pada soto ini terdapat tauge, yang lebih sering ditemukan pada soto-soto ala Jawa Tengah.
Hidangan Soto Djiancuk
Secara keseluruhan, soto ini patoet ditjoebaken. Walau dengan porsi seuprit begini, harganya kok saya rasa terlalu mahal. Total kerusakan yang ditimbulkan setelah memesan 3 porsi soto plus 2 minum dan sebiji perkedel dihargai 21 ribu rupiah.
Namun secara suasana, warung soto unik ini patut dikunjungi. Banyak benda-benda etnik dan unik dapat ditemukan di sini. Pokoke jan klasik banget dan nyeni. (muhammad zhamroni - jengjeng.matriphe)
Lihat juga : hanamasa
wine
Tidak ada komentar:
Posting Komentar